Kamis, 13 Desember 2012

Mengenang PDRI ( Perjuangan yang Hampir Terlupakan )

       Tak berapa lama, peringatan Hari Bela Negara (19 Desember) akan dirayakan. Peringatan itu didasarkan hari terbentuknya PDRI, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Halaban, Sumatra Barat. Tapi bila dibanding peringatan hari besar nasional atau kepahlawan lain, seperti Hari Pahlawan, dan Serangan Umum 1 Maret, peringatan bela negara jauh dari seremonial yang gempita. Benar, kondisi kini tak membutuhkan ekspresi kebangsaan yang meluap-luap. Tidak zaman ‘45 lagi kata anak-anak sekolah. Tetap saja mengganjal pertanyaan di diri kami, jangan-jangan sentrisme Jawa dalam historiografi itulah yang membuat peringatan hari bela negara menjadi sunyi. Persoalannya sudah emosionil; PDRI lahir di luar Jawa yang dianggap outer island.
         Bila dinapaktilasi, PDRI tak sekedar peristiwa sejarah yang dibujuk rezim dengan membuat peringatan yang diberi nama hari bela negara itu. Banyak refleksi sejarah dan hikmah kebangsaan dapat dipetik dari perisitawa itu, peristiwa yang terjadi ketika negara mengarah ke negara gagal. Salah satunya ujian terhadap kepemimpinan tokoh-tokoh nasional, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, Sudirman, bahkan Sjafruddin Prawiranegara. Lewat PDRI, tampak mana yang negarawan, avonturis, dan pengecut. Apakah mungkin, karena di momen PDRI itu terlihat wajah sesungguhnya para pemimpin yang bopeng-bopeng kemudian PDRI tak dianggap serius oleh bangsa dan sejarah bangsa ini?
    Sehingga membutuhkan satu generasi bagi negara-bangsa kita mengakuinya? Entahlah.